Orasi Anas Urbaningrum

Urgensi Politik Mitos, Belajar Dari Raja

Akhir kekaisaran China dari dinasti Qing (dinasti Manchu) yang kronologinya di tulis secaara sistematik  dalam autobiografi dari sudut pandang   kaisar terakhir, yakni kaisar Pu Yi, tentu membuka lebih luas variasi kajian politik terutama dalam konstruksi kekuasaan dengan fondasi mitos. Secara realitas empiris, 'mitos' yang merupakan salah satu simbol konservatif ternyata memainkan peran penting terhadap eksploitasi otoritas kebijakan status quo. Keberadaan mitos sendiri telah banyak mendapat pertentangan dari orang-orang yang menyebut dirinya kaum rasionalis, sehingga implementasi kedalam dimensi politik dikhawatirkan akan menyeret objek politik atau rakyat pada kondisi yang cenderung statis. Karena mereka dipercaya akan terjebak kedalam halusinasi atau imajinasi yang mempengaruhi sudut pandang mereka sehingga jauh dari obyektifitas.  Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian seberapa jauh urgensi mitos dalam mempengaruhi kegiatan politik diberbagai belahan dunia serta seberapa tinggi frekuensinya.
Tidak sedikit orang yang mengetahui bahwa menjadi sebuah kyakinan masyarakat monarki jika raja atau kaisar adalah putra langit atau transfigurasi dari ruh ke-Tuhanan dengan beraneka sebutan. Indonesia misalnya, hingga akhir abad ke delapan belas masih memakai doktrin raja merupakan jelmaan dewa-dewa, atau Cina menganggap kaisar sebgai putra surga, dan masih banyak lagi lainnya. Namun seiring hadirnya ide humanisasi yang semakin berkembang atau subversi dari kultur asing, doktrin eksistensi kepala negara sebagai subtitusi ke-Tuhanan mulai bertransformasi. Sebelumnya sikap penghormatan terhadap kepala negara yang paling lumrah dipraktikan di Cina adalah kowtow atau bersujud, begitu pula di Sriwijaya, maupun di Thailand. Saat ini tradisi demikian dianggap kuno dan kurang memenuhi tuntutan era modern. Pada masyarakat-masyarakat yang bersistemkan monarki, sebagian tetap mengalamatkan hal-hal transendental kepada raja meski porsinya sudah berkurang banyak. Adapun yang perlu diperhatikan dari evolusi dogma mitologi  tersebut ialah barometer loyalitas obyek politiknya.
Politik mitologi, begitu kata yang akan dipakai dalam tulisan ini, menjadi 'alat' efektif membangun loyalitas masyarakat. Sebab dogma raja sebagai transfigurasi wujud ke-Tuhanan ternyata mampu menciptakan kesetabilan dalam kebijakan pragmatis dan keamanan nasional. Bahkan pada masa orde baru, dimana sistem presidensial yang mengimplementasikan politik mitos, mampu melaksanakan segala kebijakan tanpa kerusuhan. Karena pada masa tersebut, banyak propagandis melakukan manuver doktrin beserta aneka aksioma. Terlepas dari politik mitologi, politikus akan sulit menegaskan kebijakannya yang tendensi pada area kontroversi, dan karena itu programnya banyak yang tersendat. Sebab oposisi tidak akan segan untuk melakukan dominasi politk secara represif. Lain halnya dengan jika penguasa memainkan politik mitos, oposisi perlu melakukan aksi subversif terlebih dahulu sebelum akhirnya harus bersikap represif.